Dampak Resesi Seks di Jepang

357

Who’s saying totally no to “childfree”?

Japan. 
Yang lagi menghadapi masalahh besar saat ini, which is sex recession, yang akhirnya berdampak pada populasinya yang makin menyusut.

Wait, what is sex recession? 
Here, kalau merujuk dari The Atlantic, istilah sex recession aka resesi seks ini mengacu ke penurunan rata-rata jumlah hubungan seksual yang dilakukan oleh penduduk di suatu negara, gengs. Terus, penurunan jumlah hubungan seksual ini kemudian juga dikaitkan sama masyarakat di negara tersebut yang betah banget sendiri alias nggak nikah-nikah, dan berakhir dengan stagnannya, atau bahkan turunnya jumlah penduduk. Nah, fenomena seperti ini sering terjadi di banyak negara maju di dunia.
 
Is it bad? 
It’s quite bad, sih, khususnya yang terjadi di Jepang ya. Karena kalo menurut data terbaru, angka kelahiran di Jepang udah super mengkhawatirkan. Statistik Kementerian Kesehatan Jepang mencatat bahwa hanya ada 799.728 kelahiran pada 2022, which is the lowest number dan penurunan pertama sepanjang sejarah di mana angka kelahiran ngga nyampe 800.000. Angka ini juga hampir setengahnya dalam 40 tahun terakhir, ketika Jepang mencatat lebih dari 1,5 juta kelahiran pada 1982. Selain itu, Jepang juga melaporkan rekor kematian pascaperang tertinggi tahun lalu, yaitu sebanyak 1,58 juta. Kalo merujuk ke data pemerintah sih, populasi Jepang udah mengalami penurunan sejak booming-nya di tahun 1980-an dan mencapai 125,5 juta pada 2021.

Go on… 
Other than that, tingkat kesuburan Jepang pun juga rendah. Hanya 1,3 dari level 2,1, angka yang dibutuhkan untuk populasi yang stabil. Selain itu, Jepang tuh kan juga dikenal kalo warganya punya umur yang panjang ya, gengs. Bahkan pada 2020, satu dari 1.500 orang di Jepang itu berusia 100 tahun atau lebih. Makanya, ini juga nih yang bikin pemerintah makin concern. Soalnya, populasi lansianya masih banyak, tapi at the same time tingkat kelahirannya rendah.

Terus, kondisinya gimana? 
Dampak dari resesi seks ini nggak main-main sih. Yang pasti pertama, jumlah rumah atau bangunan kosong dan terlantar di Jepang tuh terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir. Kalo menurut Survei Perumahan dan Tanah Kementerian Dalam Negeri Jepang pada 2018, ada 8,49 juta akiya atau rumah kosong yang tersebar di berbagai penjuru negara itu, dan sebagian besar terletak di pedesaan atau kota kecil. Nah, jumlah akiya ini diprediksi bakal tembus sampe 10 juta pada tahun ini. Kondisi dari rumah-rumah itu macem-macem sih, mulai dari yang masih layak huni sampe yang emang udah bobrok dan nggak bisa ditempati lagi. To be more specific, ada sekitar 3,49 juta rumah udah lama ditinggalin gitu aja sama penghuninya. Angka itu setara dengan 5,6 persen dari total perumahan yang tak dihuni di Jepang. Bahkan, diprediksi sepertiga rumah di Jepang bakal kosong pada tahun 2030. Makanya buat mengatasi ini, pemerintah Jepang ngasih tawaran pajak rendah bagi warga yang memiliki rumah-rumah itu.


Speaking of so many elderly… 
Dampak keduanya adalah Jepang bakal kesulitan buat regenerasi tenaga kerja.
Advertisement
 Hal ini jadinya berpotensi mengancam stabilitas ekonomi negara. Other than that, Jepang juga nantinya harus mengeluarkan anggaran lebih banyak buat mengantisipasi pembengkakan biaya perawatan warganya yang lansia. Dampak ketiganya, jumlah murid sekolah dasar dan sekolah pertama di Jepang juga menurun sekitar satu juta pada 2020. And all of those things membuat Jepang diperkirakan bakal mengalami penurunan angka penduduk secara drastis sebesar 30 persen pada 2060.
 
Kok bisa sampe segitunya, sih? 
There are some reasons about it. Faktor utamanya, biaya hidup yang mahal. “Yaaa, ngebiayain hidup sendiri aja udah susah, ini lagi suruh punya banyak anak, ya puyeng,” gitu kali ya gengs kata anak-anak muda di sana. Terus, banyak perempuan lebih fokus ke pendidikan dan karir. Alasan lainnya, akses terhadap kontrasepsi juga mudah. Yang terakhir, the hottest topic of the month, banyak perempuan lebih milih punya sedikit anak, or even, childfree. HEHEHE..
 
Is the government doing something? 
Absolutely. Soalnya, sebelumnya pemerintah Jepang tuh belom pernah “segitunya” buat menangani masalah resesi seks ini. Prime Minister Fumio Kishida udah tegas dan bilang, “We should do something about it.” Makanya, pemerintah Jepang tuh udah bikin badan khusus buat menangani resesi seks. Tujuannya, badan ini dibentuk buat mendukung orangtua muda dan memastikan keberlanjutan regenerasi di Jepang. Selain itu, pemerintah juga jor-joran banget ngeluarin anggara buat program-program yang terkait dengan anak. Bahkan, pemerintah Jepang tuh sampe membuat acara perjodohan terbesar yang menghabiskan dana sampe Rp1,1 miliar.
 
Really?? 
Yup. Acara ini diadain di Prefektur Aichi yang bakal menghadirkan 400 lajang di Kota Nagakute. Harapannya, mereka bakal ketemu sama jodoh mereka di sini apalagi setelah pandemic COVID-19 yang bikin mereka stay at home for too long. Beda lagi sama di Prefektur Miyagi, di mana penduduknya bisa menemukan pasangan lewat layanan perjodohan yang didukung oleh sistem Artificial Intelligence (AI) yang disponsori pemerintah. Atau di wilayah Miyazaki, yang proses perjodohannya lebih tradisional, dimana para calon pasangan saling bertukar tulisan tangan. Pokoknya, pemerintah is really serious about this. 
 
Anything else? 
Sadly, kondisi ini tuh nggak cuma dialamin sama Jepang aja. Korea Selatan sama China are also facing the same problem, gengs. Pemerintah di sana lagi pusing-pusingnya buat menggenjot angka kelahiran. Di Korsel, pemerintah sampe kasih penawaran penitipan anak gratis dan tunjangan untuk perumahan. Bahkan di China, pemerintah janji buat ngasih perawatan kesehatan ibu dan anak, serta memperkenalkan subsidi dan keringanan pajak untuk keluarga. Terus di beberapa kota, pemerintah sampe ngasih cuma-cuma uang tunjangan kepada keluarga yang punya banyak anak demi membantu keuangan mereka.
Advertisement