Hutan Mangrove Harapan Untuk Dampak Krisis Iklim

184

When climate crisis gets worse…..

But mangroves save everything.
Finally banget we have some good news soal lingkungan ygy. Yep, dari kemaren udah dibombardir sama berita karhutla sampai dampak climate crisis yang bikin panik dikit yekan. Kamu tau nggak sih kalau kita masih punya satu harapan lo, guys. Yep, everybody meet: Mangrove.

Tell me. 
Sure. As we’ve all realized (or not), 2022 udah tinggal tiga bulan lagi and we’re currently in Ber gang. Meaning, udah masuk rainy season nih, guys. But thanks to climate crisis, cuaca sekarang susahhhhh banget ditebak. Siang panasnya ampun-ampunan, eh malamnya hujan deres bahkan kadang awet sampe pagi, pas mau berangkat kuliah atau ngantor genangan dan banjir di mana-mana  Nah, kalau udah gini kondisinya, masyarakat yang tinggalnya di kawasan pesisir tuh jadi kelompok yang paling beresiko, guys. Secara mereka deket air kan. Apalagi kalau di situ nggak ada ekosistem mangrove. Double kill deh itu.

Mangrove tuh yang mana, ya? 
Itu looo tanaman ijo-ijo yang sering kamu liat ada di pesisir sungai/laut.  Dari catatan Badan Pusat Statistik aka BPS, ekosistem mangrove di Indonesia tuh ada sekitar 3,63 juta hektar. Adapun persebarannya itu terbesar ada di Papua dengan luas 1,63 juta hektar. Terus Sumatera dengan luas sekitar 892 ribu hektar, ada juga di  Kalimantan, Maluku, Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Dengan data ini, nggak diragukan lagi, Indonesia Timur merupakan wilayah dengan ekosistem mangrove terbesar. Termasuk di Sumba, Nusa Tenggara Timur.

Okay…..
Well, kamu harus tahu nih. Selain ada bukit sabana yang biasa dijadiin background rang-orang foto prewedding, di Sumba juga ada hutan mangrove dan bakau, guys. Tepatnya di kawasan pesisir Sumba Timur. Terus di April 2021 kemarin, terjadi badai Siklon Tropis Seroja yang menyebabkan sekitar 5.000 ribu rumah warga rusak. Nggak cukup di situ, ada lagi banjir rob yang terjadi beberapa waktu setelahnya. But the thing is, dari bencana yang terjadi, ada satu desa namanya Desa Matawai Atu yang aman-aman aja, gengs. Sekitar 1.822 masyarakat di sana selamat dan nggak kena dampak dari bencana ini.

Kok bisa?
Yha karena di sana ada ekosistem mangrove, guys. Dari cerita Kepala Dusun Pak Zadrack Yohanes dan Kepala Desa Matawai Atu, Pak Herman Wadu, bilangnya wilayah mereka nggak terdampak sama sekali saat dilanda badai seroja dan banjir, karena dilindungi hutan mangrove. Sejak itulah warga desa menyadari banget pentingnya konservasi dan rehabilitasi tanaman mangrove di pesisir laut yang udah melindungi mereka dari terpaan badai seroja gengs. Terus, dari situ, kalau ada nelayan yang otw melaut, pasti mereka sempetin buat nanam mangrove dari buah mangrove yang jatuh.
Advertisement

Oh bisa ditanam sendiri ya?
Bisa dong. Nanemin mangrove tuh nggak susah sama sekali tau, guys. Secara buah mangrove banyak yang jatuh, jadi sebenernya yha mereka bisa banget tumbuh sendiri. Terus kalau mau efforts dikit, tinggal tancap, sekitar dua minggu pohonnya udah tumbuh. Within 3 months, pohonnya udah gede deh. Tapi ya gitu, ekosistem mangrove ternyata juga rentan rusak, guys. Penyebabnya bisa macem-macem, most likely sih karena ulah manusia yang sering mengalihfungsikan lahan mangrove jadi lahan tambak.

Nooooo
Ini dia yang juga jadi concern-nya masyarakat sana, guys. Jadi warga setempat tuh menerapkan sanksi adat gitu buat siapapun yang kedapatan merusak ekosistem mangrove. Adapun sanksi adat yang diterapkan tergantung dari kesepakatan warga desa dari hasil rembugan sama kepala dusun dan kepala desa. Speaking of kepala desa, pemerintah setempat juga nggak henti-hentinya kasih imbauan buat masyarakat nggak usah nebangin tanaman mangrove. Makanya sampai saat ini nggak ada tuh warga yang berani nebangin mangrove itu. .

Sayang banget kalo ditebangin….
We know rite. Lagipula, selain buat menjaga dari bencana, mangrove ini bisa diolah jadi garam, guys. Yep, jadi waktu bapak-bapaknya pada melaut, si Ibu-ibu di desa tuh juga sibuk  mengumpulkan pasir terus dimasak kan sampe jadi garam. Nah pas garamnya udah jadi, ditempatkan di sebuah wadah, dan dijemur. Nah, garamnya dikonsumsi bahkan dijual deh sama warga. Makanya sayang banget kan kalau sampai nggak ada lagi itu mangrove.

Got it. Anything else?
Fyi nggak jauh dari hutan mangrove dan bakau, terdapat tempat budidaya tanaman kelor yang dikelola oleh seorang anggota babinsa yang dikelola oleh Pak Efodius Selain membuat garam, sebagian ibu-ibu di Desa Matawai Atu sehari-harinya memetik daun kelor untuk kemudian dijual ke tempat pengolahan daun kelor punya Pak Babinsa. Per kilonya mereka dapat lima ribu rupiah. Daun kelor itu kemudian diolah jadi tepung dan dikirim ke kota bahkan diimpor ke luar negeri kaya Jepang untuk dijadikan obat herbal, kosmetik, dan bahan pangan.
Advertisement