DPR RI Mengesahkan RUU Kesehatan

120

Calling all nakes and all of you who’s interested in dating nakes…

Today we’re gonna talk about: The curious case of UU Kesehatan.
You must have heard the news, rite? Bahwa hari Selasa kemarin, DPR RI baru aja mengesahkan salah satu Rancangan Undang-Undang di mana akhirnya jadi Undang-Undang, guys. Yep, we’re talking about UU Omnibus Law Kesehatan. UU-nya tuh kontroversial banget, bahkan sampe menuai pro dan kontra sepanjang perjalanannya. Terus saking tegasnya menolak, ribuan masyarakat yang terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya Selasa kemarin menggelar aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Senayan dan ngancam mau mogok kerja.

Hold on, I need some background. 
Brace yourself, it’s gonna be a lengthy one. Tapi abis baca ini kamu bakal jadi expert UU Kesehatan deh, dijamin. Anyway, jadi emang UU Kesehatan ini banyak mengundang “Aye!” dan “Nay!” dari masyarakat guys. Tapi kalo kata pemerintah, “Ya gimana dok emang butuh banget niii.” Secara menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, covid-19 kemaren tuh beneran jadi turning point buat melakukan transformasi di bidang kesehatan, salah satunya melalui UU ini.
 
Duh plz gamau inget-inget masa kelam ngocok dalgona lagi….
Ya maksudnyaaa pas covid-19 itu berbagai issue soal kesehatan kita tuh unfolded gitu loh. Mulai dari jumlah dokter di Indonesia yang kurang, penyebaran fasilitas dan layanan kesehatan yang ngga merata,  proses munculnya dokter-dokter baru juga lama (looking at you, sekolah FK yang lama dan susah lulus), dll. Nah makanya, pemerintah tuh melihat diperlukan pembenahan supaya sistem kesehatan di Indonesia jadi stronger than ever before.
 
Misalnya gimana…
Ya contohnya, jumlah dokter yang sedikit tadi harus bisa di-tackle dengan percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter di tanah air. FYI guys, rasio jumlah dokter dan masyarakat di Indonesia tuh rendah banget. Cuma 0,47 per 1.000 penduduk. Saking rendahnya, kita tuh masih ada di bawah Timor Leste dengan rasio dokter 0,77 per 1.000 penduduk dan Myanmar dengan 0,74. Selain soal kelangkaan dokter, pelayanan primer kesehatan juga harus diperkuat, begitu juga dengan peningkatan industri farmasi, pemanfaatan teknologi kesehatan sampai pemaksimalan penggunaan alkes.

Makanya ada UU ini?
Correct. Jadi misalnya nih ya guys soal jumlah dokter yang dikit tadi. Jadi dalam aturan sebelumnya, Surat Tanda Registrasi (STR) itu harus diperpanjang setiap lima tahun. Nah dalam UU Kesehatan STR jadi berlaku seumur hidup. Menurut Kemenkes, hal ini perlu supaya menyederhanakan aturan administratif buat dokter dan mereka jadi gausah spend duit banyak perpanjangan izin tiap lima tahun gitu. Terus juga dalam UU yang baru, dokter asing tuh kalo udah spesialis bisa langsung praktek di Indonesia, dan dikecualikan dari aturan harus punya STR dan Surat Izin Praktek (SIP). Padahal dalam aturan sebelumnya, para dokter asing ini harus dapet rekomendasi dari IDI dulu berupa STR supaya bisa praktek di tanah air.
 
I see…
Nah terus juga yang jadi highlight para organisasi profesi adalah soal kriminalisasi. Dalam aturan yang baru, disebutkan bahwa nakes yang melakukan kelalaian sampe menyebabkan luka berat itu bisa dipidana paling lama tiga tahun, dan kalo sampe meninggal, maka pidananya paling lama lima tahun. Nah pasal ini tuh ditolak banget oleh para nakes karena dinilai bakal jadi sarana untuk mengkriminalisasi nakes. Padahal kan ya supaya sembuh tuh bukan tanggung jawab nakes doang, tapi juga pasiennya, sarana prasarana, fasilitas, dll.
 
So I heard…the nakes are not happy with the UU?
Yep, some of them. Jadi sejak awal UU-nya dibahas sampe disahkan, sejumlah tenaga kesehatan, mulai dari dokter, perawat, bidan, apoteker, pada menolak idea ‘transformasi kesehatan’ pakai UU yang baru ini. Contohnya para dokter yang tergabung dalam Ikatan Dokter Indonesia aka IDI. Menurut Ketua Umum PB IDI, dr. Adib Khumaidi, selama proses penyusunannya, UU ini nggak memenuhi asas keterbukaan alias nggak transparan. Ofc hal ini langsung dibantah sama pemerintah dan DPR di mana DPR tuh udah dari April-Mei kemaren melibatkan masyarakat dalam penyusunan UU ini. Organisasi profesi, akademisi, sampai tenaga kesehatan semuanya udah diundang dan diajak diskusi ceunah.


Okay…
Selain itu, IDI juga menilai UU Kesehatan ini nggak jelas gitu lo juntrungannya, arahnya ke mana. Bahkan disebut nggak punya landasan filosofis, sosiologis, yuridis, dan nggak mendesak. In a nutshell, IDI tuh menilai UU Kesehatan yang baru nih, “Buat apa???” gitu. Padahal, masih dalam keterangan dr. Adib, sembilan Undang-Undang Kesehatan yang sekarang berlaku tuh masih relevan banget. Nggak ada redundancy, dan nggak kontras antara satu dengan yang lain.

Terus kata pemerintah apa?
Well, Menkes Budi be like, “Objection! Ga setuju nih, karena Indonesia butuh banget perbaikan di bidang kesehatan.” Pak BGS bahkan nge-cite data di mana ada sebanyak 300.000 rakyat wafat karena stroke, 6.000 bayi meninggal karena kelainan jantung karena nggak bisa dioperasi, dan lima juta balita mengalami stunting. In that sense, Indonesia butuh banget UU Kesehatan yang diinisiasi sama DPR RI ini.
 
Oke… terus prosesnya di DPR gimana?
Nah udah kan. Udah dibahas sama DPR, pemerintah, dan berbagai elemen masyarakat ceunah, tinggal deh undang-undang ini dibawa ke paripurna untuk disahkan. Nah jadi dalam Sidang Paripurna yang dipimpin langsung Ketua DPR, Puan Maharani itu, mayoritas para fraksi Di DPR pada setuju sama draftnya, guys. Adapun yang setuju adalah: PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, PPP, PKB, dan PAN. Sementara Partai NasDem menerima dengan catatan, sedangkan PKS dan Partai Demokrat menolak pengesahan ini.

What happened to those three? 
Hehehe kebetulan banget tiga-tiganya ada di Koalisi Perubahan ya, guys. Nah jadi tiga bestie ini sama-sama menyorot Mandatory spending atau kewajiban belanja. A little background about this mandatory spending thing: jadi dalam Pasal 171 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan pemerintah daerah mau itu provinsi ataupun kabupaten kota wajib mengalokasikan 10% APBD buat belanja dan 5%-nya dibantu sama APBN. Nah di UU Kesehatan yang baru ini, mandatory spending ini dihapuskan, guys.

Kok gitu? 
Dikonfirmasi langsung oleh Pak Budi Gunadi Sadikin, mandatory spending ini sengaja dihapuskan dalam rangka efisiensi anggaran. Karena di lapangan, Pak BGS menyebut seringkali mandatory spending ini nggak tepat sasaran, atau bahkan nggak jelas dibelanjain untuk apa. In his words, Pak Menkes bilangnya, “Bapak Presiden juga sempat berbicara beberapa kali. Uangnya dipakai buat apa? Dan saya mengalami sebagai menteri, banyak betul uang yang dipakainya kemudian kita nggak jelas untuk apa.”

Ya soal uit sih ya…
Yoi. Lebih jauh, Pak BGS juga menilai besarnya anggaran yang dibelanjain tuh belum tentu berdampak positif sama kesehatan penduduk Indonesia. Iya, Pak BGS bahkan kasih contoh di negara lain kayak AS dan Kuba di mana dua negara itu punya mandatory spending yang gede, tapi rata-rata usia hidupnya nggak setinggi negara yang mandatory spending-nya lebih kecil kayak Jepang, Korea Selatan, dan Singapura. That being said, pemerintah dan DPR tuh ngeliat fokusnya di sini tuh bukan di spending-nya tapi lebih ke outcome. Fokusnya bukan ke input, tapi ke output ceunah.

Hubungannya sama NasDem, Demokrat, dan PKS?
Nah tiga partai ini nggak sependapat akan hal ini, guys. Partai Demokrat yang diwakili Dede Yusuf kemaren bilang harusnya mandatory spending ini nggak dihapuskan secara adanya mandatory spending bisa menjamin peningkatan derajat masyarakat. In contrary to menghapuskan, Demokrat bahkan disebut lagi berjuang meningkatkan anggaran kesehatan, biar kesehatan juga bisa merata di seluruh penjuru negeri. The same thoughts were also spoken by PKS yang diwakili anggota DPR-nya, namanya Netty Prasetiyani. Menurut PKS, pelayanan kesehatan yang berkesinambungan tuh ya cuma bisa kejadian kalau anggarannya cukup, guys. Makanya dibutuhkanlah mandatory spending ini. Meanwhile, Partai NasDem sih menerima pengesahan ini asalkan mandatory spending-nya ditambah jadi 10% dari APBN.


So, where are we going from here? 
Nah kayak UU baru pada umumnya, setelah disahkan di DPR, maka tinggal one step closer sampai akhirnya UU ini legit disahkan dan berlaku di NKRI. Yep, tinggal nunggu ditandatangani sama Presiden Joko Widodo aja, guys. Menyikapi pengesahan ini, Pak Jokowi sih fine-fine aja ya. Pak Presiden juga berharap UU yang baru ini bisa mereformasi sistem kesehatan Indonesia, termasuk kebutuhan layanan kesehatan yang hopefully juga bisa terpenuhi.

T-tapi what about yang tadi unjuk rasa?
Soal itu juga. Sekelompok tenaga kesehatan tuh sampai sekarang masih bete dan marah banget kan sama pengesahan ini. Nah ending-nya, lima organisasi profesi which is para dokter di IDI, para perawat di PPNI, dokter gigi di PDGI, bidan di IBI, serta apoteker di IAI bakalan mogok kerjaguys. Serius. Mogok kerja nasional pula katanya, kecuali buat yang tugasnya emergency dan vital. Jadi ya gitu deh, sampai sekarang mereka masih konsolidasi sih. Tapi denger ada mogok kerja begini, Menteri Kesehatan terpanggil dong. Budi Gunadi Sadikin bilangnya, “Sampaikan dengan cara yang sehat. Saya terbuka anytime kalau ada yang mau menghadap. WA akan saya balas. Perbedaan argumen ya biasa,” katanya.

Ok now wrap it up pls….
Jadi ya gitu, guys intinya. UU Kesehatan disahkan dan otw berlaku di Indonesia dengan segala ketetapannya meskipun para tenaga kesehatan masih banyak yang menolak. Nah speaking of penolakan, sesuai prosedur sebenarnya para tenaga kesehatan dari organisasi profesi ini bisa banget mengajukan judicial review atau menggugat UU ini ke.. Mahkamah Konstitusi. Dan ini yang most likely juga bakal dilakukan sama para nakes ini. Ketua PPNI, Harif Fadhillah bahkan bilangnya ngajuin ke MK tuh lebih realistis daripada harus mogok kerja. Kalau udah mentok banget, baru dah tu last option-nya mogok kerja katanya gitu.