Pemerintah Berencana Mengenakan Pajak Pada Sembako dan Sekolah

381

When you hate paying taxes… 

<divWait till you hear this.. 

 
What is it? 
Pemerintah berencana untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada sembako dan sekolah.
 
HAH?! Background please. 
Ok. Jadi, rencana aturan ini tertuang dalam draf Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam drafnya itu disebutin bahwa barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN. Nah, draf ini kemudian beredar di masyarakat and got everybody like, “Whaaaaat???”
 
Yep, whaaaaat?
Let’s dig in more. Jadi dalam aturan sebelumnya, disebutkan jenis-jenis makanan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat, hingga nggak dikenakan PPN. Nah, barang tersebut meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi. Sedangkan hasil pertambangan dan pengeboran yang dimaksud seperti emas, batu bara, hasil mineral bumi lainnya, serta minyak dan gas bumi.
 
Terus, kalo undang-undang tadi disahkan, berarti makanan pokoknya kena pajak?
Most likely iya. Tapi emang nilai pajaknya beda, buat barang yang dikonsumsi sama masyarakat ekonomi rendah, dan makanan mewah yang cenderung dikonsumsi sama kelompok berada. Kalo untuk barang mewah, maka pajaknya bakal cenderung lebih tinggi guys. Selain itu, undang-undang ini juga mau dibahas dulu sama DPR, jadi yhaaa masih menerima masukan-masukan publik.
 
Go on…
Dalam kesempatan meeting sama DPR kemarin, Menkeu Sri Mulyani juga menjelaskan bahwa barang yang bakal kena PPN adalah bahan makanan premium, kayak daging wagyu atau shirataki. Meanwhile, untuk barang-barang non-premium dengan harga murah, Bu Ani bilang bahwa nggak akan dipungut pajaknya. Beliau juga menjelaskan bahwa justru kebijakan ini merupakan bentuk keadilan atas banyaknya produk yang beredar di masyarakat saat ini.
 
I see… tapi kenapa kok tiba-tiba muncul aturan ini? 
Kemarin, Dirjen Pajak (DJP
Advertisement
) juga memberikan tiga alasan kenapa muncul wacana kebijakan penambahan PPN untuk barang pokok. Jadi pertama, karena pandemi covid-19 yang membuat pemasukan untuk kas negara turun banget, padahal pemerintah harus mengeluarkan dana yang besar untuk membiayai pemulihan ekonomi nasional (PEN). Kedua, tarif PPN Indonesia yang dipatok di 10 persen termasuk terlalu rendah dibandingkan negara lain, di mana kalo di luar negeri sih, ada Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax/VAT) dan Goods and Services Tax (GST).  Third, selama ini struktur penerimaan negara dari PPN berkontribusi 42 persen terhadap penerimaan negara, tapi menurut pemerintah sih, persentasenya nya bisa ditingkatkan lagi.
 
Oh gitu, terus? 
Menurut Pak Neilmardin, kalau PPN untuk sembako dan pendidikan ini jadi diterapkan, tarifnya (harganya) bakal beda-beda. Jadi, pemerintah bakal menerapkan skema multi tarif antara 5 sampai 25 persen. Terus, Pak Neilmardin juga memastikan bahwa PPN sembakonya nggak bakal dikenakan bagi kebutuhan masyarakat yang dijual di pasar tradisional. Jadi pajaknya nanti bakal disesuaikan sama kemampuan membayar masyarakat juga.
 
What about school?
Nah, masih menurut narsum yang sama, disebutkan juga bahwa sekolah yang kena pajak adalah sekolah swasta yang emang bersifat komersial. Sedangkan untuk sekolah negeri, maka nggak akan dipungut pajak guys.
 
Got it. Does anyone says anything, tho?
Yep, everybody was like “disagreee!” dan meminta Bu Sri Mulyani untuk nggak memberlakukan kebijakan tersebut. Penolakan di antaranya datang dari anggota DPR RI asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani yang nanya neh: “Apakah pemerintah sudah tidak tahu lagi cara mencari sumber pendapatan negara kecuali dengan menarik pajak dari rakyat? Sembako pun dipajaki dan dinaikkan nilai pajaknya.”
 
I see, anything else? 
Yep. Kalo jadi berlaku, maka PPN ini juga bakal diterapkan pada sektor lain bagi para jasa penyedia tenaga kerja aka perusahaan outsourcing,  dan pada jasa layanan rumah sakit, termasuk dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, hingga persalinan. Adapun yang nggak kena PPN adalah jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, dan jasa boga atau katering.
Advertisement